Nikah Misyar |
Nikah mis-yar (nikah miswar) adalah nikah di mana pasangan nikah hidup
secara terpisah satu sama lain atas kesepakatan bersama dan tetap masih
ada pemenuhan syahwat dan beberapa hak lainnya sesuai kesepakatan, dan
bisa jadi si pasangan sepakat tidak ada pemberian tempat tinggal atau
nafkah bulanan. Bagaimana pandangan Islam mengenai bentuk nikah semacam ini? Apakah dibolehkan?
Bentuk Nikah Misyar
Bentuk nikah misyar sudah ada sejak masa silam. Bentuk nikah semacam
ini adalah suami mensyaratkan pada istrinya bahwa ia tidak diperlakukan
sama dengan isti-istrinnya yang lain (dalam kasus poligami), bisa jadi
pula ia tidak dinafkahi atau tidak diberi tempat tinggal, ada pula yang
mensyaratkan ia akan bersama istrinya cuma di siang hari (tidak di malam
hari). Atau bisa jadi si istri yang menggugurkan hak-haknya, ia ridho
jika hanya ditemani suami di siang hari saja (bukan malam hari), atau ia
ridho suaminya tinggal bersamanya hanya untuk beberapa hari saja.
(islamqa.com: fatwa 97642)
Bentuk misyar ini sangat nampak sekali di negeri kita pada
pasangan perselingkuhan (tanpa status nikah) atau jika suami memiliki
istri simpanan tanpa diketahui istri pertama, terserah dengan status
nikah yang sah dengan istri kedua atau tidak.
Hukum Nikah Misyar
Nikah misyar tetap dikatakan sah
jika terpenuhi syarat dan rukun nikah. Adapun pengguguran beberapa hak
yang dipersyaratkan atau diizinkan oleh salah satu pasangan tidaklah
menjadikannya nikahnya haram. Namun sebagian ulama memakruhkan nikah
semacam ini. Akan tetapi, yang tepat nikah semacam ini masih boleh
selama syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Al Hasan Al Bashri dan ‘Atho’ bin Abi Robbah berpendapat bolehnya nikah nahariyah, yaitu membolehkan dilayani di siang hari saja, tidak di malam hari (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 337). Nikah nahariyah adalah salah satu bentuk nikah misyar.
‘Amir Asy Sya’bi ditanya mengenai seseorang yang sudah beristri dan menikahi wanita lain lalu ia syaratkan pada istri kedua, “Saya hanya bisa melayanimu satu hari dan istriku yang lain dua hari”. Asy Sya’bi menganggap nikah semacam itu tidak bermasalah (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 338).
Sedangkan Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman dan Az Zuhri
memakruhkan nikah semacam ini. (Lihat Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum
nikah misyar, yaitu seorang pria menikah lagi dengan istri kedua, ketiga
atau keempat, dan ia katakan pada istri tersebut untuk tetap tinggal di
rumah orang tuanya, lantas si pria pergi ke rumah si istri ini pada
waktu yang berbeda dari istri lainnya. Apa hukum dari nikah semacam ini?
Beliau rahimahullah menjawab, “Nikah misyar semacam ini
tidaklah masalah asalkan terpenuhi syarat-syarat nikah, yaitu harus
adanya wali ketika nikah dan ridho keduany pasangan, serta hadirnya
saksi yang adil ketika akad berlangsung. Juga tidak adanya yang cacat
yang membuat nikahnya tidak sah. Dalil akan bolehnya bentuk nikah
semacam ini adalah keumuman dalil,
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
"Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen)." (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Abu Daud no. 3596, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Jika kedua pasangan sepakat jika si istri tetap di rumah bapaknya,
atau si suami hanya bisa melayani istri di siang hari saja atau pada
hari tertentu, atau pada malam tertentu, maka nikah semacam ini tidak
bermasalah. Namun dengan syarat nikah ini dilakukan terang-terangan
(diumumkan ke khalayak ramai), bukan sembunyi-sembunyi. (Fatawa ‘Ulama
Balad Al Haram, 450-451)
Namun berbeda statusnya jika yang terjadi adalah perselingkuhan (alias: zina), atau nikahnya tanpa wali. Status nikah misyar seperti ini jelas tidak sah sebagaimana diterangkan dalam dua hadits berikut.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ
اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang
wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah
batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah
adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud
no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu
Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.
(HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan
Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nasehat: Sebaiknya Tidak Dilakukan
Syaikhuna –guru kami- Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al
Fauzan, salah satu anggota Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi
Arabia) dan ulama senior di kota Riyadh, ditanya, “Apa pendapatmu –wahai
Syaikh- mengenai nikah misyar dan hukum syari’at mengenai nikah semacam
ini?”
Jawaban beliau, “Aku tidak merekomendasikan nikah semacam itu karena
tidak terpenuhinya maslahat nikah di dalamnya. Nikah semacam ini hanya
sekedar pemenuhan syahwat. Suami tidak bisa mengawasi istrinya dengan
benar. Istri juga tidak hidup bersama dengan suami. Jika ada anak dari
nikah semacam ini, maka ia akan jauh dari kerabatnya. Yang jelas nikah
semacam ini tidak bisa menggapai tujuan nikah. Maka kami pun tidak
menganjurkannya.” (Sumber fatwa: http://alfawzan.ws/node/13734)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 9 Rabi’ul Awwal 1433 H
Sumber : www.rumaysho.com
0 comments:
Posting Komentar